English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Kamis, 21 April 2011

ka berusaha menahan emosinya dengan wajah bersungut dan diam seribu bahasa.
“Ngambek nih ye!”, goda Edi.
“Marah, ya?”, imbuh Edwin.

“Eh, kalian kesini sebentar!”, ajak Antok pada Edi dan Edwin agar duduk mendekat disampingnya.
“Coba lihat, wajah kakakmu, kalau lagi ngambek gitu tambah cakep ya, tapi kenapa jodohnya pada lari ya!”, kata Antok sambil tertawa diikuti Edi dan Edwin.

Mendengar kata-kata Antok, Eka pun tak kuasa menahan amarahnya. Ia langsung berdiri memegang piring kosong yang ada disampingnya. Ketiga pemuda yang ada didepannya segera saja lari ketakutan dan berhamburan dari ruang makan. Dan Eka pun kembali duduk untuk melanjutkan makannya karena memang dia hanya berniat menggertak saja.
Sesaat kemudian ayah dan ibunya ikut duduk di meja makan.
“Kamu apakan mereka sampai pada lari keluar rumah?”, tanya ayahnya pada Eka.
“Uhh.. itu Yah, Edi dan Edwin kompak banget sama Antok menggoda aku”, keluh Eka.
“Mereka kan sudah kumpul lama jadi wajar kalau kompak, kamu sih jarang pulang!”, kata ayahnya.
“Kok aku yang salah, mereka itu yang kekanak-kanak-an”, tangkis Eka.
“Mereka kalau sudah kumpul memang gitu, Edo yang mau nikah pun juga gitu kalau sudah kumpul dengan Antok”, kata ibunya.
Dalam hati, Eka tertawa dengan kelakuannya sendiri. Ia merasa menjadi muda kembali ketika bergurau dengan adik-adiknya dan Antok. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan selama sibuk bekerja di Jakarta yang selalu menuntut kedewasaannya. Keberadaan Antok juga memberi suasana baru dalam hatinya, sayangnya hal itu baru muncul sepeninggal Edo. Ketertarikannya pada Antok semakin bertambah walau tanpa rayuan. Sebaliknya ia malah lebih sering mendapat gurauan lugu nan cerdik tanpa dibuat-buat setiap kali berbincang dengannya pada tiap kali temu dalam 2 hari ini. Tak jarang pula ia menerima godaan kekanak-kanak-an dari Antok. Semua itu cukup mengusik emosinya pada daya tarik Antok yang aneh dan belum pernah ia jumpai pada pria-pria yang dikenalnya.
Dari pengetahuan dan pengalamannya, Eka tahu bahwa Antok memiliki wawasan yang luas dan sangat dalam di beberapa bagian. Ia juga tahu bahwa Antok memiliki pola pikir mirip seperti teman-teman dan bos-bosnya yang bule walau tak sepenuhnya meninggalkan adat istiadatnya. Cara berpikir Antok juga cenderung praktis, dewasa dan bijak. Sikap skeptis pada sekelilingnya sangat kuat membuatnya selalu cepat merespon keadaan sekeliling. Satu hal yang membuat Eka penasaran adalah kenapa Antok terlihat seperti menyembunyikan sifat-sifat positifnya dibalik sifat-sifat kekanak-kanak-annya. Eka memperkirakan ada sesuatu yang ditakuti oleh Antok.
Sebuah dering HP nya membuyarkan lamunan Eka. Setelah berbincang lama ia menutup pembicaraan dengan rasa kecewa telah mengangkat panggilan telepon dari pimpinannya tadi. Setelah berbincang sebentar dengan kedua orang tuanya, ia pun bergegas masuk kamar dan mengemasi pakaiannya. Sementara itu ayahnya memanggil Antok, Edi dan Edwin yang masih ngobrol dan merokok di teras rumah.
“Eh, kakak masa ngambek sampai keburu balik malam-malam begini?”, tanya Edwin pada Eka yang dilihatnya sudah siap-siap bepergian.
Raut muka Edi dan Antok pun juga kaget dan tegang merasa bersalah pada Eka. Apalagi Eka tak kunjung membuka mulut. Hal ini disengaja Eka untuk membalas godaan yang dialaminya tadi.
“Mbak maafin kami deh, kami memang keterlaluan menggodanya tadi”, ujar Antok.
“Iya memang kalian keterlaluan, sorry ya tak ada maaf bagi kalian”, jawab Eka.
“Udah Ka, jangan bercanda lagi, ini udah malam, Malang itu nggak dekat apalagi malam begini”, kata ibunya.
Walau masih bingung tapi ketiga pemuda itu sudah merasa kalau dikerjai Eka yang sekarang lagi menahan tawanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Template by:
Free Blog Templates